Meraih Rakhmat Menghindarkan Perselisihan
Perbedaan tidaklah sama dengan perselisihan. Perbedaan tak mesti mendapatkan perselisihan. Adapun perselisihan, sudah pasti berdampak terkoyak-koyak: perpecahan dan permusuhan.
Berbeda adalah hal yang niscaya, alamiah, dan manusiawi. Berselisih, kemudian berpecah-belah dan bermusuhan, adalah perbuatan yang dilarang ditegaskan oleh al-Qur’an, bahkan diancamNya dengan azab yang pedih. Lihatlah surat Ali Imran ayat 105.
“Wa laa takuunuu kallaziina tafarroquu wakhtalafuu mim ba’di maa jaaa’ahumul-bayyinaat, wa ulaa’ika lahum ’azaabun ‘azhiim”.
Artinya : “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang berpecah-belah dan berselisih setelah turunnya Bayyinat (al-Qur’an) ini. Kepada mereka itulah akan ditimpakan azab yang pedih.”
Lalu mari letakkan pula di sini ayat yang bertutur tentang dihadirkan-Nya rahmat Allah Swt.
Lihat Surat Hud ayat 118-119:
“Walau syaaa’a robbuka laja’alan-naasa ummataw waahidataw wa laa yazaaluuna mukhtalifiin”
Artinya “Dan Jika Tuhanmu menghendaki tentulah Dia Swt akan menjadikan manusia satu umat, akan tetapi mereka selalu berselisih (pendapat).
“Illaa mar rohima robbuk, wa lizaalika kholaqohum, wa tammat kalimatu robbika la’amla’anna jahannama minal-jinnati wan-naasi ajma’iin”.
Artinya: “Kecuali (yang tidak berselisih) orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi Neraka Jahanam dengan Jin dan Manusia (yang durhaka) semuanya”.
Kita telah memahami bahwa Allah SWT sendirilah yang memang menghendaki kemajemukan kita. Kemudian, kita pun memahami betapa begitu banyak dan luas kandungan al-Qur’an yang harus di pahami dan sebagian ayatnya bermakna terang jelas tak lagi butuh tafsir (muhkamat) dan sebagian besar lainnya (jumlahnya lebih banyak) bersifat samar, sehingga otomatis menisbatkan multitafsir (mutasyabihat) (lihatlah keterangan ini dalam surat Ali Imran ayat 7), plus kemajemukan konteks, kondisi, latar, kompetensi, dan realitas hidup setiap kita di muka bumi dalam bentang masa dan kesejarahan yang panjang, itu semua meniscayakan perbedaan dan keragaman yang seyogianya belaka.
Sesuatu yang niscaya, seyogianya, alamiah, manusiawi, apalagi telah dikukuhkan oleh ayat-Nya, sungguh ganjil untuk terus dijadikan sumber problem bagi hidup kita semua. Sungguh tak masuk akal itu bisa terus terjadi. Ini sisi rasionalnya bukan. ?
Dari sisi naqli, betapa telah terang menerangnya “peringatan” Allah SWT tersebut, surat Hud ayat 118-119, bahwa siapa yang terus membiarkan dirinya terjerengkang dalam perselisihan (mari bedakan dengan terang dan konsisten antara “perbedaan” dan “perselisihan”), itu isyarat bahwa ia tak diberi-Nya rahmat-Nya.
Anehnya, bagaimana mungkin kita yang mengaku beriman kepada Allah SWT, berislam, bertakwa kepada-Nya, pula fasih menukil ayat-ayat-Nya dan hadist-hadist-Nya Nabi Muhammad SAW, tetapi di waktu yang sama kita abai pada perjuangan yang paling penting untuk meraih rahmat-Nya? Mengapa kita malah nampak gandrung memburu “kemenangan pendapat” di antara perbedaan dan keragaman pendapat?
Malah ada kalangan-kalangan yang tanpa ragu dengan mengatasnamakan kebenaran Al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW menendangkan kata-kata yang tiada pantas diderakan kepada sesaudaranya seiman, seperti “tidak sesuai al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw, sesat, bahkan kafir”. Yang benar adalah mengislamkan orang kafir, jangan mengkafirkan saudara-saudara islam lainnya. Sejak kapan kita jadi wakil Tuhan?
Beda pandangan hilafiah memaki seseorang sesat dan kafir. Kita tidak tahu persis keimanan seseorang. Sungguh mencengangkan & sungguh mengherankan.
Sekali lagi, mari renungkan, apa gerangan yang lebih utama untuk kita ikhtiarkan dan mohonkan kepada-Nya selalu selain mendapatkan rahmat-Nya kelak? Itu artinya pula ridha-Nya?
Jika kita benar-benar semata hanya mengharap ridha-Nya & rahmat-Nya, dalam seluruh pemahaman dan amaliah keislaman kita, karena itu kita harus yakini sebagai “kunci keselamatan” hidup kita di dunia dan akhirat nanti (ingatlah hadist Rasulullah SAW tentang ridha dan Rahmat-Nya tanpa batas tidak berlaku hukum sebab akibat. Hamba Allah taat ataupun maksiat tidak ada jaminan masuk surga-Nya selain mendapatkan rahmat-Nya. Seyogianya telah cukup bagi kita untuk selalu menempatkan “batas atas” atau larangan itu sebagai genggaman kita: “jangan berpecah-belah dan berselisih” / jangan bermusuhan.
Penting untuk kiranya kita semua renungkan dengan rendah hati karenanya: jangan-jangan seluruh desakan diri kita untuk melambungkan pendapat, mazhab, dan aliran diri sendiri, yang kerap kita atasnamakan “dakwah”, “libtighai mardhatillah”, hingga “amar ma’ruf nahi munkar”, dan segala yang adiluhung Islami dan Rasulullah SAW banget sejatinya semata golakan hawa nafsu diri?
Ingat Surat al-Mu’minun ayat 71 ini:
“Wa lawittaba’al-haqqu ahwaaa’ahum lafasadatis-samaawaatu wal-ardhu wa man fiihiin, bal atainaahum bizikrihim fa hum ‘an zikrihim mu’ridhun”
Artinya: Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah lagit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu.
Lihat pula Surat An-Naml ayat 4:
“Innallaziina laa yu’minuuna bil-aakhiroti zayyannaa lahum a’maalahum fa hum ya’mahuun”
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dan negeri akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka hingga mereka bergelimang (dalam keburukan/kesesatan).”
Jadi, mari berhati-hatilah, dengan rendah hati, apa yang kita yakini sebagai “kebenaran”, kita kukuhkan dengan banjaran ayat, hadist, qaul para ulama, berjubel argumen, jangan sampai semata bajakan hawa nafsu kita untuk, menjadikan semua orang mengikuti pendapat kita.
Mengertilah selalu bahwa pihak-pihak lain, yang memiliki perjalanan spiritual dan rohani yang tak sama dengan kita, juga niscaya memiliki keyakinan dan pemikiran yang sama teguhnya kepada takwil, mazhab, aliran, dan amaliahnya masing-masing.
Keduanya pun sama-sama bisa menukil ayat-ayat, hadist-hadist, dan qaul-qaul para ulama salaf yang sama hebatnya. Keduanya pun sama-sama ahli ilmu, jago berargumen, itu tentu saja.
Lantas, di mana pantasnya kita yang awam begini, manusia yang akhir zaman begini, bersifat jumawa mengobrak-abrik pandangan dan amaliah orang lain yang tak sama dengan kita, yang itu pun berarti di dalamnya kita seturut menyalahkan, merendahkan, dan melecehkan pendapat dan amaliah para ulama salaf yang telah menisbatkan warisan mazhab tersebut?
Sama sekali tiada kepatutan.
Al-Mu’minun ayat 71 tersebut kiranya cukuplah untuk buat kita jadikan pegangan Tatkala dengan kepongahan egoisme kita melesat tinggi di dalam dada terhadap perbedaan-perbedaan pendapat dan amaliah orang lain yang tidak sama dengan kita. Yakinilah bahwa “Al-Qur’an" itu adalah bagian dari mukjizat-Nya, rahmat-Nya, hingga Al-Qur’an akan bisa terus mendampingi kehidupan umat-Nya di manapun hingga akhir zaman kelak (rahmatan lil ‘alamin).
Ihwal terjadi perbedaan antara satu sama lain, keragaman, itu sudah menjadi sunnatullah. Terimalah perbedaan itu dan lapanglah kepada kemajemukan, dengan selalu menghindarkan segala bentuk ungkapan yang akan menjurus kepada perselisihan dan yang akan menyebabkan terpecah-belah antara satu sama lain.
Berhati-hatilah selalu dalam menjaga hati dan lisan di hadapan perbedaan tafsir, takwil, mazhab, paham, aliran, hingga amaliah apa pun itu.
Biarkanlah orang lain yang menganut, meyakini, dan yang akan mengamalkannya, sebagaimana kita pun ingin mendapatkan perlakuan yang sama dari mereka: dihormati dalam menganut, meyakini, dan mengamalkannya juga.
Cukupkan ia sampai di sini, tak usah diperbesar diperluas menjadi perselisihan, apalagi perpecah-belahan, dan permusuhan antara kita. Yang berbeda-berbeda, mari kita untuk kecilkan; yang sama-sama, mari kita untuk besarkan.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA telah menasihatkan: “Kita adalah saudara dalam iman, Jikapun kita tak sesaudara dalam iman, kita sesaudara dalam kemanusiaan.”
Imam Syafii telah mengatakan, “Kebenaran dalam pandanganku boleh jadi mengandung suatu kesalahan dalam pandangan orang lain dan kebenaran dalam pandangan orang lain boleh jadi mengandung suatu kesalahan dalam pandanganku.”
Betapa tawadhu’ dan rendah hatinya mereka yang mutlak-mutlaknya para ahli ilmu dan amal kepada orang lain, pihak lain, dalam segala perbedaannya. Masak kita yang begini-begini saja secara ilmu dan amal tega bersipongah kepada orang lain?
Sungguh malu hati ini kepada para leluhur kita, ulama kita, guru kita, sesepuh kita, apalagi kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW tercinta.
Insya Allah, dengan jalan logis seperti ini, semoga kita semua lalu terpantaskan untuk menerima karunia rahmat-Nya. Aamiin.
Wallahu a’lam bish shawab.
Belum ada Komentar untuk "Meraih Rakhmat Menghindarkan Perselisihan"
Posting Komentar